Jalan Rusak, Aparat Pemerintah Dipidana? (1)

Jalan Rusak, Aparat Pemerintah Dipidana? (1)

Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) merupakan salah satu produk hukum yang disebut bisa menjerat aparat pemerintah, khususnya yang membidangi perbaikan jalan raya. Benarkah demikian? Sampai sejauh ini, rasanya belum pernah terdengar ada berita tentang pihak pemerintah yang dibui gara-gara terjerat UU LLAJ.

Di awal kemunculannya, UU tersebut menimbulkan kontroversi. Salah satunya dikemukakan oleh Wakil Menteri Pekerjaan Umum pada awal 2010 silam. Hal ini sebagaimana dilansir Pusat Litbang Jalan dan Jembatan (Pusjatan) Kementerian PU.

Pada paparan Wakil Menteri tersebut disampaikan penyelenggara jalan tidak dapat disalahkan dengan adanya kerusakan jalan yang menimbulkan kecelakaan di jalan. Selain itu, persoalan perilaku pengemudi kendaraan bermotor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. Sejumlah pasal secara eksplisit memberikan sanksi pidana kepada pihak penyelenggara jalan. Ketentuan tersebut dituangkan di dalam Pasal 273 sebagai berikut:

(1) Setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (tahun) atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).

(4) Penyelenggara jalan yang tidak member tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sbagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

PENDANAAN

Ketentuan-ketentuan di pasal tersebut menimbulkan pertanyaan. Pertama, siapa yang dimaksud dengan penyelenggara jalan? Di dalam UU ini tidak dijelaskan lebih lanjut perihal yang dipidana apakah institusi penyelenggara. Karena dapat berarti Kementerian PU untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk jalan di daerah, ataukah orang yang menjadi bagian dari penyelenggara jalan?

Kedua, tidak adanya data akurat perihal kompisisi faktor penyebab kecelakaan yang selama ini dipublikasikan dari hasil penelitian. Dengan demikian, ketentuan di dalam Pasal tersebut seakan-akan mencari ‘kambing hitam’ atas pihak yang harus dipersalahkan atas kecelakaan di jalan.

Selama ini, data tentang penyebab kecelakaan tidak mudah diperoleh karena pengelolaan datanya tidak dilakukan secara baik, atau tidak jelasnya pengumpulan data tersebut karena melibatkan banyak pihak.

Ketiga, dengan penganggaran untuk pemeliharaan dan peningkatan jalan yang masih kurang memadai, jaminan keselamatan pada infrastruktur jalan seperti memberikan tanggung jawab tanpa hak penyelenggara jalan untuk melaksanakan mandat sesuai UU.

LINTAS INSTITUSI

Infrastruktur jalan merupakan bagian dari sistem transportasi. UU LLAJ ini memang menekankan kepada kerangka integrasi dalam pengelolaan jalan dan melibatkan keseluruhan komponen yang terkait, termasuk institusinya. Dalam kerangka ini, kerusakan jalan merupakan persoalan bersama lintas institusi. Kasus kerusakan jalan melibatkan komponen – komponen sebagai berikut:

  1. Kondisi lalu lintas; diperlukan pengendalian yang memadai terhadap MST kendaraan yang melewati suatu ruas jalan, sebagaimana ditunjukkan pada kasus beban berlebih (overloading).
  2. Pengelolaan ruang di sekitar jalan; tanpa pengendalian terhadap pembangunan di sekitar jalan, infrastruktur jalan sangat rentan terhadap kerusakan. Contohnya adalah kerusakan jalan akibat perubahan pemanfaatan ruang, sehingga meningkatkan beban kendaraan karena bertambahnya aktivitas.
  3. Pengelolaan aktivitas di sekitar jalan; dalam hal ini diperlukan pengendalian aktivitas masyarakat untuk mencegah kerusakan jalan, seperti membuang sampah pada saluran drainase yang seyogyanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari infrastrukturnya yang melindungi kondisinya.

 

PENGAWASAN

Dengan memahami persoalan dalam kerangka menyeluruh, sepatutnya tidak ada pihak-pihak yang merasa dikorbankan dalam suatu persoalan. Di balik kontroversi yang ditimbulkan tersebut, UU LLAJ memberikan tekanan kepada para pemangku kepentingan untuk mendekatkan kembali koordinasi dalam menciptakan infrastruktur transportasi yang dapat menjamin keselamatan semua pihak.

Pengawasan terhadap lalu lintas dengan beban berlebih harus lebih ketat, sehingga pemerintah tidak lagi (kecolongan) seperti sebelum-sebelumnya. Sanksi yang tegas pun harus diberikan kepada pelanggar, termasuk pihak yang menjadi pengawas, agar pelaksanaan dari Pasal tersebut menjadi cukup fair. (*)

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0821-522-89-123 atau email: hariankaltim@ gmail.com