banner 728x90

Kemendagri: Ada Bupati di Kaltim Ngeluh Proyek Terhambat Gara-gara Pilkada

Kemendagri: Ada Bupati di Kaltim Ngeluh Proyek Terhambat Gara-gara Pilkada

Kementerian Dalam Negeri mengungkap banyak proyek pemerintah daerah yang terhambat akibat pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.

Hambatan muncul karena pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran untuk pilkada.

Direktur Politik Dalam Negeri Kemendagri Bahtiar berkata, hibah dana untuk pilkada serentak selalu naik jumlahnya tiap periode.

Pilkada serentak sudah dilaksanakan pada 2015 dan 2017. Tahun depan, akan ada pilkada serentak di 171 daerah.

“Di Kaltim misalnya, ada Bupati mengeluh karena ada proyek sudah lelang gara-gara pilkada proyeknya tidak bisa dibayarkan. Ini menghambat pembangunan lainnya,” ujar Bahtiar di acara Diskusi Model Pembiayaan Pilkada Serentak yang Efisien dan Efektif, Ancol, Jakarta, Selasa (7/11/2017).

Kenaikan anggaran pilkada terlihat dari perbandingan ongkos penyelenggaraan pemilihan di 2015 dan 2017.

Pada pilkada 2015 yang diikuti 269 daerah, total Rp7 triliun lebih dana disalurkan pemda. Sementara pada pilkada 2017 di 101 daerah, anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp5,9 triliun.

Pada Pilkada 2018 yang diikuti 171 daerah estimasinya ada Rp15,15 triliun dana yang digunakan.

Bahtiar mengatakan, pemerintah akan mengodifikasi hukum kepemiluan pemilihan di tingkat nasional dan daerah.

Hal itu akan dilakukan untuk memangkas ongkos tinggi penyelenggaraan pilkada serentak.

“Akan kami lakukan kodifikasi hukum kepemiluan antarpemilu nasional dan lokal. Aspek pembiayaan akan diintegrasikan jadi satu sumber,” katanya.

Ongkos pilkada serentak bersumber utama dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Penyalurannya harus melalui Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) antara pemda dengan KPU, Bawaslu, serta aparat keamanan setempat.

Dalam acara yang sama, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menilai tingginya ongkos pilkada karena masih prematurnya konsep keserentakan pemilihan di Indonesia.

Menurutnya, keserentakan Pilkada baru disusun berdasarkan asas kedekatan waktu pemilihan antardaerah.

Belum ada asas penyatuan penyelenggara atau pengawas yang dipikirkan saat merumuskan bentuk pilkada serentak.

“Sementara porsi terbesar anggaran pilkada untuk honorarium (40-50 persen), operasional, sosialisasi,” ujar Pramono.

Selain itu, KPU juga harus menyusun anggaran pilkada dengan asumsi 5 hingga 6 pasangan calon kepala daerah mengikuti proses pemilihan.

Padahal, hanya ada sekitar 2 sampai 4 pasangan calon kepala daerah yang mengikuti pilkada, berkaca dari pengalaman 2017. (cnn)

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0821-522-89-123 atau email: hariankaltim@ gmail.com