HARIANKALTIM.COM – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Kalimantan Timur menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) di sebuah rumah sakit plat merah di Samarinda.
Proyek yang bertujuan untuk memperkuat layanan informasi dan administrasi di rumah sakit tersebut tercatat senilai Rp1,814 miliar untuk tahap awal, namun hasil audit BPK mengungkapkan indikasi sejumlah pelanggaran yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Menurut laporan BPK, pengadaan SIMRS tersebut menggunakan metode penunjukan langsung kepada PT IMS sebagai pelaksana. Berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor 050.0591.BLUD.VIII.2022 tertanggal 8 Agustus 2022, proyek ini dijadwalkan berjalan selama 120 hari, yakni dari 8 Agustus hingga 2 Desember 2022.
Namun, hasil audit menunjukkan bahwa proses pengadaan yang dilakukan tidak sesuai prosedur dan menyalahi aturan dalam beberapa aspek penting.
TANPA HPS
BPK mencatat bahwa dalam proses pengadaan SIMRS ini, tidak terdapat dokumen Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebagai dasar penetapan harga wajar proyek.
HPS adalah instrumen krusial dalam menilai kewajaran harga penawaran agar proyek berjalan transparan.
Kendati HPS tidak ada, KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) berdalih bahwa pihaknya mendapatkan penawaran dari tiga perusahaan, yakni PT MTW, PT IMS, dan Yayasan KNZ, meskipun tanpa proses penetapan HPS yang seharusnya dilakukan.
Lebih jauh lagi, BPK menemukan bahwa Pejabat Pengadaan tidak menjalankan proses negosiasi harga dengan PT IMS, sehingga harga yang ditetapkan langsung disetujui oleh manajemen tanpa penawaran lebih lanjut.
Penunjukan langsung tanpa negosiasi ini memicu pertanyaan serius mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran rumah sakit.
HINDARI LELANG?
Temuan lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah adanya indikasi pemecahan paket pekerjaan agar proyek terhindar dari mekanisme lelang terbuka.
Berdasarkan MoU antara rumah sakit dan PT IMS, proyek SIMRS ini dijadwalkan berlangsung dalam jangka waktu empat tahun, dengan perubahan tahunan sesuai kebutuhan.
Namun, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa proyek ini dipecah menjadi beberapa tahap, dengan tahap pertama bernilai Rp1,814 miliar, mendekati batas maksimum pengadaan langsung senilai Rp2 miliar.
BPK menilai bahwa strategi pemecahan paket ini diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan lelang terbuka, yang akan lebih mengedepankan persaingan dan transparansi.
Pada proyek yang direncanakan berlangsung selama beberapa tahun ini, terdapat indikasi bahwa pekerjaan akan melebihi batas nilai maksimal pengadaan langsung di tahap-tahap selanjutnya, yang justru membutuhkan mekanisme lelang lebih lanjut.
DUA SPK
Dalam proses audit, BPK juga menemukan ketidaksesuaian jangka waktu dalam dokumen SPK antara versi digital dan hard copy.
Versi digital mencatatkan bahwa proyek SIMRS ini berjalan selama 150 hari, sementara hard copy menyebutkan 120 hari.
Perbedaan ini menimbulkan kebingungan terkait standar pelaksanaan proyek, terutama karena perbedaan jangka waktu tersebut dapat mempengaruhi kontrol dan evaluasi pelaksanaan.
Hingga 8 Desember 2022, BPK menemukan bahwa pekerjaan belum sepenuhnya rampung. Modul-modul utama seperti SysAdmin, E-Asuransi, Antrian, dan Bridging Radiologi belum selesai diuji coba.
Selain itu, migrasi data dari sistem lama ke SIMRS baru belum dilakukan sepenuhnya, menyebabkan data pasien dan tagihan lama tidak dapat diakses melalui sistem baru.
Kondisi ini membuka potensi kerugian hingga Rp634 juta karena adanya pekerjaan yang belum tuntas namun telah tercatat sebagai pengeluaran.
Menurut keterangan pihak penyedia, hanya data master yang telah dimigrasi, sementara data transaksional yang lebih kompleks belum bisa dilayani oleh SIMRS baru.
Penyedia mengakui bahwa transaksi yang terjadi sebelum implementasi SIMRS harus tetap diselesaikan melalui sistem lama.
REKOMENDASI BPK
Terkait temuan-temuan ini, BPK merekomendasikan kepada Gubernur Kalimantan Timur agar memberikan instruksi kepada Direktur Rumah Sakit tersebut untuk mengambil langkah tegas.
BPK meminta rumah sakit segera menyusun dan menetapkan HPS sesuai ketentuan, memastikan penyedia menyelesaikan pekerjaan yang tertunda, serta menerapkan denda keterlambatan kepada pihak yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, diharapkan pengadaan proyek SIMRS ini dapat lebih transparan dan sesuai standar, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan masyarakat. (TIM)