Halah, BPJS aja cerewet minta ini-itu!

Halah, BPJS aja cerewet minta ini-itu!

JARUM jam perlahan mendekati angka sepuluh. Langit malam kota masih diselimuti mendung tebal. Sisa hujan sore hari meninggalkan udara lembap dan genangan air di sepanjang jalan..

Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya temaram, seolah turut merasakan kegelisahan seorang pria di sebuah rumah kecil dekat sungai yang berdampingan dengan pasar sentral.

Di dalam rumah, Alif mondar-mandir gelisah. Di sofa ruang tamu, Nina, istrinya, terbaring dengan wajah pucat.

Kontraksi yang ia rasakan semakin tak tertahankan. “Mas… sakit sekali,” Nina mengeluh dengan suara lemah, air mata mengalir di pipinya.

Alif mendekat, menggenggam tangan istrinya dengan gemetar. “Sabar, Sayang. Setumat (sebentar.Red) lagi kita ke rumah sakit,” ucapnya lirih, meski hatinya sendiri dilanda kebimbangan.

Rumah sakit pemerintah terdekat hanya berjarak lima menit. Namun, bayang-bayang cerita buruk tentang pelayanan di sana menghantui pikirannya.

Ia ingat bagaimana seorang teman pernah menceritakan pengalaman saat berobat di rumah sakit yang dekat markas Palang Merah Indonesia (PMI) itu.

Seorang perawat mencibir pasien BPJS dengan komentar tajam, “Halah, BPJS aja cerewet minta ini-itu.” Kata-kata itu terus terngiang, membuat Alif ragu mempercayakan keselamatan Nina dan anaknya pada layanan yang terasa dingin dan penuh stigma.

Namun, Alif tak kehilangan harapan. Ia tahu ada rumah sakit swasta yang juga melayani pasien BPJS. Meski jaraknya jauh di pinggiran kota, ia yakin Nina akan mendapat perhatian yang layak di sana.

“Nina, kita ke rumah sakit swasta aja lah. Tenang, mereka juga nerima BPJS, kok” ucapnya sambil membantu Nina berdiri. Nina hanya mengangguk, wajahnya semakin pucat menahan rasa sakit.

Dalam perjalanan, Alif memacu motor dengan hati-hati di tengah jalanan yang licin dan gelap. Di belakangnya, Nina terus berjuang menahan kontraksi yang semakin kuat.

Alif merasa hatinya diremas. Ia tahu perjalanan ini panjang, tetapi demi istri dan anaknya, ia tak punya pilihan lain.

Setibanya di rumah sakit swasta itu, Nina langsung dibawa ke ruang persalinan. Staf rumah sakit menyambut dengan ramah tanpa memandang status mereka sebagai pasien BPJS.

Dalam hitungan jam, tangis bayi pertama mereka pecah di udara. Rasa lega dan haru menyelimuti hati Alif.

Di luar ruang persalinan, Alif duduk bersandar di dinding, air mata mengalir di wajahnya. Ia bersyukur Nina dan bayinya selamat. Namun, di balik kebahagiaan itu, terselip kegetiran.

Mengapa pelayanan manusiawi seperti ini tidak bisa dirasakan di rumah sakit pemerintah yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat kecil?

Dalam keheningan malam, Alif memandang wajah mungil anaknya yang baru lahir. Ia menggenggam tangan Nina yang kini terkulai lemah namun bahagia.

Dalam hatinya, Alif berharap suatu hari pelayanan kesehatan di kotanya berubah. Ia ingin setiap warga, tanpa kecuali, merasa dihargai dan dilayani dengan hati. Karena kesehatan adalah hak, bukan kemewahan. (TIM)

Disclaimer:
Cerita pendek ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang didasarkan pada pengakuan seorang individu. Beberapa nama, lokasi, dan situasi mungkin telah diubah untuk menjaga privasi pihak-pihak yang terlibat. Segala kesamaan dengan peristiwa atau orang lain di luar konteks cerita ini adalah kebetulan semata.

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0821-522-89-123 atau email: hariankaltim@ gmail.com