HARIANKALTIM.COM – Seorang siswa SMP Negeri 33 Samarinda memberanikan diri mengungkap dugaan pungutan liar untuk acara perpisahan sekolah.
Kepada redaksi HarianKaltim.com, siswa tersebut melaporkan bahwa setiap murid kelas 9 diminta menyetor uang sebesar Rp450 ribu, tanpa kejelasan rincian penggunaan dana maupun dasar legalitas pungutan tersebut.
Di tengah upaya pemerintah menertibkan pungutan liar di sekolah, laporan ini mengindikasikan bahwa praktik semacam itu masih terjadi secara terselubung, bahkan melibatkan pihak-pihak di luar struktur resmi sekolah.
MEMBANTAH
Kepala SMPN 33 Samarinda, M Sahid, justru menyebut bahwa sekolah tidak pernah mengeluarkan edaran resmi terkait pungutan perpisahan. Ia berdalih, rencana perpisahan berasal dari inisiatif segelintir orang tua siswa sejak Desember atau Januari lalu.
Menurutnya, sekolah tidak merespons keinginan itu karena belakangan Dinas Pendidikan mengeluarkan edaran yang melarang pelaksanaan perpisahan.
Namun, di tengah penjelasannya, M Sahid mengakui ada kegiatan lain di lingkungan sekolah, seperti Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dan pameran karya siswa, yang “diadopsi” dari keinginan siswa dengan mencari sponsor perusahaan.
Ia juga menyebut bahwa beberapa kebutuhan seperti sampul ijazah dan foto, diserahkan kepada orang tua untuk dicari sendiri, namun ada juga yang dikoordinir.
CUCI TANGAN?
Terpisah, Sekretaris Koalisi Peduli Publik Kaltim (KPPK), Ibrohim yang setelah mendengarkan rekaman audio wawancara media ini, menilai kepala sekolah terkesan cuci tangan, seolah pungutan itu terjadi tanpa sepengetahuannya.
Namun justru pernyataan panjang lebar yang menyebut soal “kesalahpahaman orang tua”, “inisiatif individu”, hingga “peran LPM” memperkuat dugaan bahwa pihak sekolah melakukan pembiaran atau bahkan membiarkan celah terjadinya pungutan liar, asalkan tidak mencatut nama resmi sekolah.
“Sikap semacam ini mengaburkan batas tanggung jawab, menutup ruang kontrol publik, dan berpotensi melanggar aturan yang telah ditegaskan pemerintah soal larangan pungutan tanpa dasar hukum,” ujarnya.
Kasus ini, sambung dia seharusnya menjadi alarm bagi Dinas Pendidikan Samarinda untuk segera melakukan audit, pemeriksaan internal, serta mengevaluasi relasi antara sekolah, komite, dan LPM.
“Jangan sampai ruang pendidikan menjadi ladang pungutan tak bertuan yang membebani siswa dan mencoreng prinsip sekolah gratis,” tegasnya.
Karena jika seorang siswa saja bisa bersuara, mengapa institusi pendidikan justru memilih diam? (TIM)