banner 728x90

Skandal Pengadaan Ilegal di Kutim Terbongkar, Pejabat Abaikan Sistem Resmi, Kontrak Rp1,75 M Bermasalah

Skandal Pengadaan Ilegal di Kutim Terbongkar, Pejabat Abaikan Sistem Resmi, Kontrak Rp1,75 M Bermasalah

DISCLAIMER: Penayangan ulang sebagian atau keseluruhan berita untuk konten akun media sosial komersil harus seizin Redaksi

HARIANKALTIM.COM – Berurusan dengan KPK rupanya tak membuat jera dan menjadi pelajaran bagi oknum-oknum pejabat di Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim).

Buktinya, berbagai penyimpangan kian terungkap. Dan kali ini dugaan pelanggaran aturan terjadi di Sekretariat Daerah.

Temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menguak dugaan pelanggaran serius dalam proses pengadaan barang dan jasa.

Ini tercantum dalam dokumen BPK nomor 18.a/LHP/XIX.SMD/5/2023 tertanggal 4 Mei 2023, yang menjadi hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur Tahun 2022.

Disebutkan bahwa proses pemilihan penyedia barang di lingkup Sekretariat Daerah justru mengabaikan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang diwajibkan untuk menjamin transparansi dan keterbukaan.

Nilai kontrak dalam pengadaan yang diduga melanggar prosedur ini mencapai Rp1,75 miliar, mengisyaratkan celah besar dalam pengelolaan anggaran daerah.

BPK melaporkan bahwa proses pemilihan penyedia barang dilakukan tanpa mekanisme SPSE, yang seharusnya diterapkan untuk mencegah praktik tak transparan.

Proses ini juga melibatkan sejumlah penyedia yang bahkan tidak terdaftar dalam Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKAP), sebuah database penting yang dirancang untuk memantau kelayakan para penyedia.

Kendati demikian, para penyedia ini tetap memperoleh kontrak, mengindikasikan adanya pola pemilihan yang tidak sesuai prosedur.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proyek ini tak hanya terbatas pada kontraktor, tetapi juga melibatkan sejumlah pejabat di lingkungan Bagian Umum Sekretariat Daerah.

Dengan alasan kebutuhan mendesak, empat pejabat pengadaan memutuskan untuk tidak melalui SPSE.

Mereka mengklaim bahwa proses pengadaan resmi membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan metode pemilihan langsung, yang menurut mereka lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan segera.

Di antara proyek-proyek yang terindikasi pelanggaran adalah pemeliharaan AC Kantor Bupati dan pembuatan mural di taman, yang ditangani oleh CV AAU dengan total nilai kontrak mencapai lebih dari Rp500 juta.

Selain itu, CV RPM diberi kontrak pengadaan komputer dan rehabilitasi pagar tanpa melalui sistem, dengan nilai kontrak sebesar Rp554 juta.

Bahkan proyek rehabilitasi Taman Ecopark dan pemeliharaan printer di lingkungan Sekretariat Daerah turut dilakukan tanpa penyaringan elektronik, melibatkan perusahaan seperti CV TKM dan CV PSB, yang masing-masing mengantongi proyek senilai ratusan juta rupiah.

Kehadiran temuan ini tentu menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan para pejabat Kutai Timur terhadap regulasi yang seharusnya menjadi dasar dalam pengelolaan anggaran publik.

BPK menekankan bahwa pemilihan penyedia barang tanpa mekanisme SPSE dan tanpa daftar SIKAP telah menutup peluang bagi pelaku usaha lain yang mungkin memiliki penawaran lebih kompetitif.

Ini membuka potensi kerugian negara dan memunculkan kecurigaan mengenai akuntabilitas pengelolaan anggaran di Kabupaten Kutai Timur.

Dokumen BPK yang diteken Agus Priyono, S.E., M.Si., Ak., CA., CSFA, sebagai Penanggung Jawab Pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Kaltim juga merekomendasikan sejumlah langkah untuk mengatasi indikasi penyimpangan ini.

Kepala Bagian Umum diinstruksikan untuk mengikuti ketentuan dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan meningkatkan pengawasan pada pelaksanaan serta pemeriksaan hasil pekerjaan.

Selain itu, pejabat diminta segera mengembalikan dana kelebihan pembayaran miliaran rupiah yang dinilai berlebih dalam proses pengadaan tersebut.

Sekretaris Daerah Kutai Timur pun telah mengambil langkah awal dengan menyetorkan kembali sebagian dana ini ke kas daerah.

Dengan temuan dan rekomendasi BPK, tekanan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor pengadaan barang dan jasa di Kutai Timur semakin besar.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengabaian sistem resmi dalam pengadaan bukan hanya menciptakan ketidakadilan, namun juga membuka jalan bagi praktik yang merugikan keuangan daerah dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran di Kutai Timur.

Masyarakat pun menunggu tindak lanjut serius untuk mengatasi temuan ini, demi menjamin penggunaan anggaran yang tepat sasaran dan tidak dikotori oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. (RED)

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0821-522-89-123 atau email: hariankaltim@ gmail.com