MALAM itu, udara kota ini terasa lembap. Suara deru kendaraan di sepanjang Jalan Ahmad Yani bercampur dengan bunyi langkah kaki Lurah Andi yang perlahan memasuki sebuah restoran. Tempat itu bukan restoran besar, tapi cukup nyaman untuk pertemuan tertutup.
Andi tidak datang untuk makan, melainkan karena ada sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak siang tadi. Seorang petinggi kota, sosok yang berpengaruh, memintanya hadir malam ini.
Ketika Andi memasuki restoran, sosok petinggi itu sudah duduk di pojok, tersenyum sambil menyuruhnya mendekat.
“Santai saja, Pak Lurah,” katanya dengan suara tenang, tapi penuh makna. Di sebelahnya duduk seorang pria lain yang belum pernah Andi temui. Wajahnya tegas, berpenampilan rapi, dan aura kesuksesan terpancar dari sorot matanya.
“Kenalkan, ini Pak Roni,” petinggi itu memperkenalkan pria tersebut. “Beliau ini pengusaha besar, ingin membangun SPBU di wilayah Pak Lurah.”
Andi duduk, diam sejenak, dan mengangguk. Ia tahu ini bukan pertemuan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pembangunan SPBU. Ia sudah mendengar desas-desus di luar tentang proyek ini, yang katanya bisa memperburuk kemacetan di daerah tersebut.
Petinggi itu melanjutkan, “Pak Roni ini sudah siap dengan semua dokumennya. Yang kita perlukan hanyalah tanda tangan Pak Lurah di surat pernyataan. Setelah itu, proyek bisa segera berjalan.”
Andi menggigit bibir. Sebagai lurah, ia memahami tanggung jawabnya. Ia tidak bisa begitu saja menyetujui sesuatu tanpa ada dasar hukum yang kuat.
“Maaf, Pak. Sejauh ini belum ada Perda terkait perizinan ini. Saya tak bisa menandatangani dokumen apa pun sebelum ada payung hukum yang jelas,” jawab Andi hati-hati.
Roni, yang selama ini hanya diam, mulai berbicara. “Ini bukan soal rumit, Pak. Kami pastikan semua sesuai aturan. Lagipula, SPBU ini akan membantu banyak orang.” Suaranya tegas, namun terasa ada nada mendesak di balik kata-katanya.
Andi terdiam. Ia tahu bahwa proyek ini akan memberikan dampak besar, tapi apa yang dipertaruhkan lebih besar lagi. Pembangunan di lokasi strategis, tepat di persimpangan jalan, pasti akan menimbulkan masalah, terutama jika tidak diatur dengan baik.
Setelah beberapa saat, Andi berdiri. “Saya tidak bisa memutuskan sekarang. Jika nanti ada Perda yang mengatur, saya akan pertimbangkan kembali.” Ia tahu jawabannya akan mengecewakan, tapi sebagai pemimpin, integritas adalah segalanya.
Malam itu berlalu dengan keheningan yang menggantung di udara. Petinggi itu tidak banyak berkata lagi, sementara Roni hanya tersenyum tipis, seolah segalanya masih dalam kendalinya.
Beberapa bulan kemudian, seperti yang Andi prediksi, Perda terkait izin pembangunan SPBU dikeluarkan. Ia menerima panggilan telepon dari petinggi yang sama, kali ini lebih formal.
“Perdanya sudah ada, Pak Lurah. Sudah saatnya kita lanjutkan.”
Andi tidak bisa lagi mengelak. Dengan berat hati, ia menandatangani pernyataan, namun bukan untuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB), melainkan hanya terkait status tanah yang tidak bersengketa. Baginya, itu adalah batas kompromi terakhir.
Namun, masalah tidak berakhir di sana. Setelah SPBU berdiri, keluhan mulai bermunculan. Warga sekitar, terutama yang tinggal di sebelah lokasi, protes keras.
Mereka menolak keberadaan SPBU tersebut, lantaran ternyata justru memperparah kemacetan.
Andi hanya bisa menghela napas. Sebagai mantan lurah, ia sudah tidak punya kuasa apa-apa lagi. Namun, kenangan pertemuan di restoran itu terus terngiang-ngiang, seolah menjadi simbol betapa keputusan-keputusan kecil sering kali membawa konsekuensi besar. (TIM)
Disclaimer:
Cerita pendek ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang didasarkan pada pengakuan seorang individu. Beberapa nama, lokasi, dan situasi mungkin telah diubah untuk menjaga privasi pihak-pihak yang terlibat. Segala kesamaan dengan peristiwa atau orang lain di luar konteks cerita ini adalah kebetulan semata.