HARIANKALTIM.COM – Dugaan pungutan liar dalam penyelenggaraan acara perpisahan siswa di sejumlah sekolah negeri di Kota Samarinda justru membuka tabir ironi.
Alih-alih memberikan klarifikasi secara terbuka, sejumlah kepala sekolah menyambut wartawan dengan ancaman samar dan pamer kekuatan dari pihak-pihak di luar sekolah.
Contohnya saja, salah satu kepala sekolah di kawasan pinggiran Kota Samarinda, yang sekolahnya berada persis di samping jembatan tol Samarinda–Balikpapan, menolak dikonfirmasi melalui sambungan telepon. Ia bersikeras agar awak redaksi datang langsung ke kantornya.
Uniknya, saat diwawancarai di ruang kerjanya, ia justru bukan ditemani guru atau komite sekolah, tetapi anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) kelurahan setempat.
Dalam wawancara, anggota LPM itu lantas mengaku merupakan penasihat sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas). Ormas tersebut memang sangat dikenal dan juga disegani.
Di lokasi berbeda, seorang kepala sekolah di kawasan padat penduduk, tak jauh dari Islamic Center dan Sungai Mahakam, juga menolak menjawab konfirmasi via telepon.
Ia mengundang media ini untuk datang langsung ke sekolahnya yang berlokasi di sebelah atau jadi tetangga fasilitas vital Pertamina.
“Langsung ke sekolah aja, Mas, sekarang kami tunggu,” tulisnya lewat pesan WhatsApp.
Saat ditemui, kepala sekolah yang dilantik Wali Kota Andi Harun pada Mei 2023 lalu itu langsung membuka pertemuan dengan menunjukkan figura besar di dinding ruang kerjanya.
Dalam bingkai tersebut, ia tampak berpose dengan seorang tokoh ormas. “Kamu kenal gak dengan ini?” tanyanya sambil menunjuk foto tersebut dan menyebut nama sang tokoh.
Lalu dengan nada tinggi dan mata melotot, ia menambahkan, “Itu kalau marah, nempeleng itu!” – pernyataan yang disampaikan seakan-akan sebagai peringatan, meskipun tokoh yang disebut juga dikenal media ini sebagai pribadi ramah, walau tegas.
Sikap intimidatif seperti ini tak hanya ditujukan kepada jurnalis. Seorang wali murid yang juga mahasiswa, pernah mengungkap adanya pungutan di sekolah adiknya.
Namun, bukannya mendapat klarifikasi, ia justru diancam akan dilaporkan ke polisi. Ia bahkan dipaksa membacakan pernyataan minta maaf di depan wali murid lainnya.
Padahal, belakangan terungkap bahwa pengakuannya soal pungutan tersebut adalah benar adanya.
Saat dikonfirmasi awak media, kepala sekolah justru menyebut bahwa ketua komite sekolahnya adalah orang tua dari ajudan seorang pejabat tinggi di institusi berseragam, seakan ingin menunjukkan jejaring kekuasaan yang dimilikinya.
Fenomena ini menggambarkan pola resistensi terhadap pengawasan publik yang dibungkus dalam selimut ketakutan dan kekuasaan semu. Praktik seperti ini jelas mencederai semangat keterbukaan dan akuntabilitas di dunia pendidikan. (TIM)