HARIANKALTIM.COM – Konflik kepemilikan tanah ulayat di Kabupaten Kutai Timur kembali mencuat.
Dugaan pemalsuan dokumen melibatkan sejumlah pihak terkait tanah milik Ahmad Embun, seluas 1.000 hektare. Kasus ini terungkap pada Selasa (04/01/2025).
Kuasa hukum pemilik sah, H. Nainuri Suhadi, SH., M. Hum, yang mewakili M. Zaki, H. Bahrani, dan Maslianyah, mengungkapkan ketidakabsahan dokumen kepemilikan tanah tersebut. Ia menyoroti sejumlah kejanggalan dalam dokumen yang diduga palsu.
Salah satunya adalah Surat Pernyataan Penguasaan Tanah Perwatasan Ulayat Keluarga Ahmad Embun tertanggal 02 Desember 1990 yang menyebutkan 1.000 hektar, yang dinyatakan sah.

Namun, dokumen lainnya patut dipertanyakan, seperti Berita Acara Pembentukan Kelompok Tani Rukun Sejahtera tertanggal 28 September 1997.
Dokumen ini menggunakan kop surat Kutai Timur Kecamatan Bengalon, padahal Kutai Timur baru resmi terbentuk pada 1999.
Selain itu, ada Surat Pernyataan Pelimpahan Hak Atas Tanah tertanggal 27 Maret 2017, yang melimpahkan 645 hektar tanah kepada Darwis, meskipun Surat Pernyataan Pemilikan Tanah Ulayat Ahmad Embun sudah dicabut.
Juga terdapat Berita Acara Identifikasi dan Inventarisasi Nomor 196/IDIPT/Sepaso Selatan/IX/2018 yang menjadi dasar penerbitan Akte Pelepasan Hak atas Tanah No. 43 tanggal 28 Oktober 2018.
Surat Keterangan Usaha Membuka Hutan dan Areal Tanah (SKUMHAT) atas nama Darwis tertanggal 28 November 2018 dengan luas 635 hektar diduga tidak sah.
Nainuri Suhadi juga menyoroti ketidakkonsistenan klaim kepemilikan tanah, mengingat Surat Kesepakatan 09 Desember 2010 dan 29 Februari 2012 mencabut tanah ulayat Ahmad Embun seluas 1.000 hektar. Kedua surat tersebut membatalkan status tanah ulayat tersebut.
Yang lebih mencurigakan, pada 2017 diterbitkan Surat Pelimpahan Hak yang melimpahkan tanah ulayat dari M. Haidy ke Darwis.
Pada 2018, SKUMHAT atas nama Darwis juga dibuat meski tanah itu sudah dicabut. PT KPC (Kaltim Prima Coal) dilaporkan membayar Rp55 miliar kepada oknum yang terlibat dalam rekayasa dokumen ini.
Selain itu, pemalsuan juga diduga terjadi pada dokumen waris. Dalam Surat Keterangan Waris dan SKUMHAT tahun 2010, Rahman dan Hanisah disebut sebagai ahli waris Ahmad Embun.
Namun, Surat Wasilah Ahli Waris yang asli tertanggal 29 Desember 2010 mencatat bahwa hanya Hamisah yang masih hidup.
“Ini bukan sekadar sengketa tanah biasa. Ada indikasi kuat mafia tanah yang memanipulasi dokumen untuk menguasai lahan,” kata Nainuri Suhadi.
Tim kuasa hukum telah mengajukan bukti untuk mendukung dugaan pemalsuan ini, termasuk Surat Wasilah Ahli Waris Ahmad Embun tertanggal 21 Oktober 2024, yang menunjukkan keabsahan ahli waris yang sebenarnya.
“Kami mendesak pihak berwenang untuk menindak tegas pelaku pemalsuan dokumen ini,” ujar Nainuri.
Upaya menghubungi pihak PT KPC dan oknum berinisial LM yang diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen belum membuahkan hasil hingga berita ini diterbitkan.
Kasus ini kini dalam penyelidikan. Jika terbukti ada pemalsuan, pihak yang terlibat dapat dijerat Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan dokumen, dengan ancaman enam tahun penjara. (RS)