Pagi baru saja beranjak pergi. Jarum jam dinding bergerak menjauhi pukul 10.00 Wita. Di salah satu sudut Kota Samarinda, dua warga tengah asyik bekesahan, sambil menyeruput kopi pahit dan wadai untuk-untuk yang sudah dingin.
Jaya dan Amat duduk bersama di teras rumah Amat, mata mereka tertuju pada selembar kertas bertuliskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Perdesaan dan Perkotaan (P2).
Jaya memalingkan wajahnya ke arah Amat, sorot matanya memancarkan ketidakpastian. “Mat,” ucapnya, “Supaya kita lebih paham soal PBB ini, mungkin sebaiknya kita temui Pak Sutomo, Ketua RT kita, untuk menjelaskan detailnya.”
Keduanya kemudian bergegas pergi. Rumah Pak RT tak jauh. Hanya dua kelokan gang, sekitar tiga menitan berjalan kaki santai dari kediaman Amat.
Beruntung tokoh yang dicari kebetulan ada di rumah. Pak RT ini sudah dua tahun menjalani masa pensiun dari PNS. Kalau tidak mancing iwak di Benanga, ya menjagai cucu semata wayangnya.
Pak Sutomo menyambut keduanya dengan senyuman hangat. “Wa’alaikumsalam,” sahutnya dengan ramah. “Saya sangat menghargai niat kalian untuk memahami peraturan. Agar lebih mudah dipahami, bagaimana jika kita membahas peraturan ini dengan cara tanya-jawab?”
Nada birokratnya masih terdengar.

Dengan sopan, Jaya lantas mengajukan pertanyaan pertama. “Pak RT, apakah sampean bisa menjelaskan kepada kami tentang maksud dari penundaan masa jatuh tempo pembayaran PBB-P2?”
Dengan sabar dan perhatian, Pak Sutomo mulai menjelaskan. “Penundaan ini berarti bahwa tenggat waktu pembayaran PBB-P2 telah diperpanjang hingga tanggal 15 Desember 2023. Jadi, kita memiliki waktu lebih lama untuk melakukan pembayaran.”
Amat mengambil giliran untuk bertanya, tampak lebih tenang setelah mendengar penjelasan pertama. “Apakah ini berarti bahwa sanksi administratif berupa bunga yang sebelumnya dikenakan telah dihapuskan?”
Sambil tersenyum, Pak Sutomo menjawab, “Betul sekali, Mat. Selama masa penundaan ini, kita tidak akan dikenai sanksi bunga sebesar 2 persen per bulan seperti sebelumnya.”
(Adv/Bersambung)