HARIANKALTIM.COM – Proyek pembangunan fasilitas air bersih di Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara, yang semula diharapkan menjadi solusi penyediaan air bagi masyarakat, kini berubah menjadi kontroversi.
Anggaran miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk pembebasan lahan justru memunculkan dugaan pembengkakan harga yang tidak wajar.
Masyarakat mempertanyakan dasar penetapan harga lahan, yang dianggap tidak mencerminkan nilai pasar di daerah tersebut.
Lahan di kawasan Babulu, terutama untuk tanah datar, biasanya berada pada kisaran harga Rp200.000 hingga Rp300.000 per m², sedangkan tanah bersemak belukar bernilai jauh lebih rendah, sekitar Rp40.000 hingga Rp50.000 per m².
Namun, dalam proyek ini, harga yang digunakan untuk lahan Water Treatment Plant (WTP) dilaporkan mencapai Rp600.000 per m², dan lebih tinggi lagi, Rp800.000 per m² untuk jalan akses menuju bendungan.
Perbedaan mencolok ini memicu dugaan adanya markup besar-besaran yang dinilai merugikan keuangan daerah.
Pihak Dinas PUPR mengklaim bahwa perubahan rencana dan penyesuaian harga dilakukan berdasarkan rekomendasi penilai independen.
Mereka beralasan bahwa tidak semua lahan yang direncanakan untuk pembebasan dapat terealisasi karena pemilik tanah tidak memberikan izin untuk area reservoir.
Hal ini memaksa Dinas PUPR untuk hanya membebaskan lahan bagi WTP dan jalan akses.
Namun, laporan terbaru BPK dengan nomor 16.a/LHP/XIX.SMD/5/2023 tertanggal 4 Mei 2023 menunjukkan indikasi yang menguatkan dugaan markup dalam pengadaan ini.
Dalam pemeriksaan yang dipimpin oleh Agus Priyono, SE, M.Si., AK, CA, CSFA, BPK menyoroti ketidaksesuaian harga lahan yang sangat tinggi dibandingkan dengan nilai pasaran yang seharusnya.
Temuan ini mengungkapkan bahwa penetapan harga oleh KJPP IBR menggunakan pembanding yang tidak sesuai, yakni harga lahan di area Pasar Babulu yang berada 3,2 km dari lokasi proyek dan jelas memiliki nilai yang lebih tinggi.
BPK menilai bahwa metode penilaian yang digunakan terkesan asal dan berpotensi menimbulkan pembengkakan anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel.
Dalam laporan itu, BPK memberikan rekomendasi tegas kepada Bupati Penajam Paser Utara untuk segera menginstruksikan pemeriksaan khusus terkait penggunaan anggaran ini.
Dinas PUPR diminta untuk meningkatkan akurasi dalam perencanaan dan mengikuti harga pasar yang berlaku. BPK juga menegaskan bahwa anggaran sebesar Rp2,7 miliar yang dipertanyakan ini harus dievaluasi secara menyeluruh.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya transparansi dan kontrol ketat atas anggaran pemerintah, terutama dalam proyek-proyek yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat.
Dengan dugaan pemborosan sebesar ini, pemerintah daerah perlu memastikan bahwa dana publik digunakan secara efisien dan tepat sasaran, agar pembangunan yang seharusnya berdampak positif tidak justru merugikan masyarakat. (RED)