HARIANKALTIM.COM – Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kelebihan pembayaran senilai Rp199,9 juta dalam proyek pengadaan lift Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Samarinda menyoroti fakta baru.
Direktur PT Bumi Permata Kendari, Heri Sukatno, ternyata sudah divonis satu tahun penjara pada Maret 2024 lalu, dalam kasus korupsi pembangunan Gedung Laboratorium BBPOM Banjarmasin.
Vonis ringan ini memunculkan pertanyaan publik, terutama karena perusahaan tersebut juga terlibat dalam proyek di Samarinda yang bermasalah.
Saat ini, piutang negara senilai Rp167,4 juta dari kelebihan pembayaran proyek lift BBPOM Samarinda belum dilunasi.
Pihak BBPOM Samarinda telah menyerahkan proses penagihan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), namun hingga kini belum ada perkembangan signifikan.
REKAM JEJAK
Dalam kasus Banjarmasin, Heri Sukatno bersama seorang rekannya, Ali Masud (masih berstatus buronan), terbukti memperkaya diri sendiri hingga merugikan negara Rp211 juta.
Meski demikian, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin hanya menjatuhkan vonis satu tahun penjara, jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman 15 bulan.
“Kejadian ini menunjukkan pola bermasalah yang berulang dari kontraktor tersebut. Dalam proyek Samarinda, ada indikasi perbedaan tafsir kontrak yang menyebabkan kelebihan pembayaran,” ungkap sumber media ini.
Koalisi Peduli Publik Kaltim (KPPK) melalui Sekretarisnya, Ibrohim, menyatakan keprihatinannya atas penanganan hukum yang dianggap kurang memberikan efek jera.
“Vonis ringan seperti ini justru menghilangkan rasa keadilan masyarakat. Kami meminta KPK dan Kejaksaan Agung turun tangan untuk mendalami dugaan praktik serupa di proyek lainnya,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala BBPOM Samarinda, Drs. Sem Lapik, Apt., M.Sc., tetap berkomitmen menyelesaikan masalah ini sesuai mekanisme hukum.
“Kami serahkan sepenuhnya kepada KPKNL. Fokus kami adalah memastikan piutang negara diselesaikan,” tegasnya saat dikonfirmasi beberapa hari lalu.
KPPK menilai kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan kontrak pemerintah.
“Kontraktor yang bermasalah harus dimasukkan dalam daftar hitam nasional. Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi sistem pengadaan untuk mencegah kerugian negara yang terus berulang,” paparnya.
Dengan latar belakang kasus korupsi di Banjarmasin, semakin jelas bahwa penyelesaian piutang negara di Samarinda membutuhkan perhatian serius.
Apakah langkah-langkah hukum yang ada cukup efektif untuk memulihkan kerugian negara, atau justru memperpanjang daftar masalah tanpa solusi? Waktu akan menjawab. (TIM)